Diambang Kehidupan

Minggu ke 2 setelah kabar baik itu..
Hari minggu 18 november 2013,
Badan saya tiba-tiba aja hareeng kalau kata orang sunda, atau ga enak badan.
Demam, pusing, dan deg-degan. Waktu itu abis minum susu rasa kopi, kirain mungkin efeknya..
Lama-lama debar jantung ga karuan dan bikin lemes setengah mati.
Tidurpun ga enak, makan susah, minum susah, jalan aja susah.
Setelah laporan , dokterpun menyarankan untuk diperiksa ke tempat prakteknya saat hari senin sore.
Jalan setengah mampu, 2 langkah aja berasa mau pingsan karena detak jantung yang berdebar.
Setelah dilakukan pemeriksaan seluruhnya termasuk EKG (detak jantung), dokter bilang harus segera masuk rumah sakit.
Jadi kami pulang dan segera ke rumah sakit sekitar jam 11 malam dilarikan ke IGD karena kamar di ruangan penuh saat itu kami harus menunggu sampai jam 6 pagi hari selasa.
Dokter jaga melakukan pemeriksaan EKG kembali berulang-ulang dan menyatakan kalau saya kekurangan zat besi yang membuat jari saya abu-abu kebiruan.
Setelah diinfus zat besi, tidak ada perubahan sama sekali.
Malah bertambah parah, dipasang oksigen dari mulai hanya selang sampai masker bertabung tetap tidak membuat jantung melambat.

Semalaman saya tetap terjaga dan tidak bisa tidur, rasanya lelah sekali.
148 kali permenit yang normalnya 60-100 kali permenit.
Sekitar jam 8 pagi hari selasa akhirnya saya dibawa ke ruangan.
Setengah mati pindah ranjang dengan oksigen yang tidak putus saya hirup dalam-dalam.
Lama kelamaan saya hanya bisa memejamkan mata, tubuh rasanya dingin seperti di dalam kulkas.
Saya sudah tidak mampu bergerak banyak atau berbicara.
Sekali dua kali sayab membuka mata, dunia nampak berjalan lambat dan samar-samar.
Satu kali saya bangun dengan selimut berlapis-lapis serta lampu sorot untuk menghangatkan tubuh saya.
Karena secara tidak sadar saya terus berkomat-kamit kalau saya kedinginan.
Menatap orang-orang yang sudah tidak saya pedulikan siapa saja yang ada saat itu.
Terasa seperti banyak sekali orang mengitari saya.
Dunia semakin melambat, saya semakin lelah dan tidak sanggup lagi.
Saya berkata berkali-kali, "mih, ade udah ga kuat. Dibius aja mih, ade ga kuat lagi. Mami nyanyi mih, berdoa mih, tenangin ade, tolong tenangin ade.".
Lalu beberapa saat setelah itu saya seakan terbangun di sebuah ruangan putih dengan banyak orang yang mengikat tangan saya.
Mami dan semua orang meninggalkan saya dan mengunci pintu.
Saya berteriak dengan histeris sambil berusaha mengoyak-ngoyak tali yang diikat pada tangan saya.
"Mihhhh mamiiii jangan tinggalin ade mihhhhh, mihhhh jangan tinggalin ade mih, ade ga mau ditinggalin sendiri disini!"
Perlahan saya seperti kehilangan tenaga dan terdidur, semua menjadi nampak gelap.
Hitam.... hanya hitam yang saya lihat.
Tetapi seperti samar samar saya mendengar beberapa orang berbicara dan menggerakan tubuh saya.
Tapi saya terjebak, di dalam tubuh yang tidak berdaya untuk merespon atau membuka mata.
Saya mencoba begitu keras, tapi tubuh saya tidak bergeming.
Saya sedih, saya bingung, dan saya memutuskan untuk tidur kembali.
Dengan harapan ketika bangun saya dapat membuka mata.
Seperti menyusuri alam bawah sadar, entah kemana jiwa saya pergi.
Saya merasa begitu kecil, terbang di ruangan putih.
Tapi tanpa sayap..
Kebingungan melihat tubuh saya sendiri terkapar seperti orang mati.
Saya menatap sekitar ruangan tanpa sudut itu, hanya tubuh kelu saya yang saya lihat.
Saya tidak tahu harus apa dan bagaimana, yang jelas saya merasa haus.
Saya ingin kembali, ingin minum susu coklat dingin yang konon dapat menyejukan otak yang sedang buntu.
"Tuhan, saya masih ingin hidup. Saya belum melakukan apa-apa untuk engkau, untuk orang tua saya yang sudah membanting tulang menyediakan kebutuhan saya, untuk begitu banyak orang yang telah mendoakan saya. Saya masih pengen bareng mami, nemenin mami papi sampai mereka tua. Membahagiakan mereka semasa mereka hidup."
Sesaat setelah itu saya seperti menyaksikan kenangan masa kecil saya sendiri bersama keluarga.
Lalu menyusuri pantai yang kering dan panas, seperti kilasan-kilasan masa lalu.
Saya sangat kehausan.
Tiba-tiba ada yang menarik jiwa saya kembali.
Ke ruang gelap itu lagi, berjuang di dalam tubuh yang kelu.
Keajaiban!
Dengan segala usaha saya untuk mencoba menggerakan badan saya, saya dapat merasakan jari telunjuk saya.
Tidak banyak berpikir saya menghentak-hentakan jari telunjuk saya kemanapun yang saya bisa.
Kebetulan jari telunjuk saya dipasangi alat untuk memonitor detak jantung.
Dan terdengar bunyi-bunyi ketukan, para suster mendengar dan keheranan.
Terdengar sayub-sayub," Suara apa itu? Oh ini si eneng ngetok-ngetok meuni pinter."
Sejenak.... Tiba-tiba saya menghilang kembali seakan tertidur dan mengilang.

Diary: 19 Januari 2014,

It's a new begining since i got pneumonia or lung infection,
penyakit yang paling mematikan untuk semua orang..
Membuat semua orang kehilangan harapannya..
Buat saya, sebuah persimpangan antara hidup dan mati.
Being death is easier than live for sure..
But, mungkin akan banyak orang kehilangan kepercayaannya jika saya memilih kematian.
Hati saya ga bisa jauh dari keluarga, dari mami, papi, cici, koko.
1 hal yang membuat saya berjuang kembali ke tubuh saya adalah KELUARGA.
Saat itu semua sayup-sayup, bingung..
Semua seperti sepenggal-sepenggal kisah masa lalu.
Tidak dapat bernafas adalah hal terburuk yang pernah saya alami,
dan berada di suatu tempat yang tidak berada di mana-mana adalah waktu menunggu paling menakutkan.
Saya mendengar tapi tak mampu mengingat, saya ada tapi tidak ada.
Saat saya bangun semua telah berubah, saya berada di tempat yang tidak saya kenali.
Ada begitu banyak alat di sekitar saya, di dalam mulut, hidung, bahkan suatu alat di bahu.
Saya tidak mampu bergerak, seakan tenaga saya terkuras habis.
Untuk mengangkat tanganpun tidak sanggup, semua terasa begitu lelah dan ruangan terasa begitu terang.
Berhari-hari, puluhan jam saya berjuang.
Berjuang untuk mengingat apa yang telah terjadi, melewati setiap proses yang menyakitkan.
Tanpa perlu berkeluh kesah, membisu.
Begitu banyak dokter dan suster di ruangan, setiap menit dicatat setiap perkembangan yang ada.
Setelah pulangpun saya masih berjuang.
Berjuang untuk belajar semua hal dari awal, seperti anak bayi yang baru membuka mata.
Mencerna untuk mengerti apa yang orang bilang, belajar untuk bernafas tanpa bantuan alat, meneguk sesendok air setelah tidak makan dan minum lewat mulut selama 2 minggu.
Belajar duduk walaupun pertama kali mencoba rasanya dunia berputar-putar.
Dan belajar berjalan sangatlah tidak mudah.
Setelah 2 minggu yang panjang, saya pikir saya bisa berjalan seperti biasa.
Tapi ternyata untuk dudukpun pusingnya setengah mati, persendian begitu kaku dan sangat lemah untuk berdiri tegak.
Butuh berpegangan pada sesuatu, tetapi di saat sulit itu saya selalu berfikir akan masa lalu.
Saat berlarian di pasir putih, bebas seperti angin..
Saya bisa, saya harus bisa berlarian lagi di pasir putih sebebas angin..
Sedikit demi sedikit saya mencoba mendobrak kemampuan saya agar saya bisa jalan dengan lancar lagi.
Punggung, paha, selangkangan, mulut, semuanya lecet karena tiduran selama 2 minggu.
Kulit mengelupas karena panas, luka dimana-mana, dan turun 10kg.
Saya bertanya-tanya apa maksud Tuhan atas kejadian ini.
Isolasi selama beberapa minggu ini membuat saya semakin stress, dan entah kapan isolasi ini akan berakhir.
Rasanya hampir gila, ini itu dilarang, makan ini itu ga boleh.
Saya di isolasi di lantai 2 rumah, yang hanya ada satu kamar besar dengan fasilitas lengkap dan steril.
Di pel dengan karbol setiap hari, makanan langsung masak fresh, istirahat total berminggu-minggu.
Mau marah, pada siapa?
Mau nangis, apa saya kurang bersyukur?
Kerap kali saya bermimpi tentang betapa indahnya hidup sebelum semua ini terjadi.
Padahal saya bisa masuk kuliah semester ini kalau saya ga terkena infeksi paru-paru.
Begitu banyak Tuhan berbicara, tetapi hati saya terasa beku.
Semua orang menuntut ini itu atas keselamatan yang saya dapat.
Padahal, Tuhanpun tidak menekan.
Saya bukan pula orang yang tidak tahu terimakasih, tapi semakin orang menekan semakin saya kehilangan respek.
Saya tahu yang Tuhan mau, dan saya kenal betul Tuhan saya.
Tanpa orang-orang paksa pun saya akan maju.


Itulah kali pertama saya menulis lagi setelah sekian lama..
Saat itu saya begitu kesal mengingat apa yang tengah terjadi, mengapa semua orang begitu histeris...
Tapi waktu memulihkan segalanya.
Saya sadar saya masih manusia yang bisa kesal, takut, kehilangan harapan, ataupun punya sebuah batasan yang jika masalah itu melampaui apa yang saya bisa, saya hilang. Coma.
Perlahan, satu persatu keluarga menceritakan apa yang telah terjadi.
Semua rangkaian peristiwa yang telah terjadi, dari beberapa sisi.
Betapa mereka shock melihat saya seperti tidak bernyawa.
Perlahan saya menyelami sepenggal-sepenggal apa yang saya alami juga..
Bangun dari koma itu, seperti habis nahan buang air besar begitu lama lalu akhirnya ketemu wc!
Blas! Legaaaaa....
Kalo kata sheila on 7 sih "Anugrah terindah yang pernah kumiliki".
The most beautiful about life, is being alive.
As simple as that.
To wakes up in another morning,
To breath without ventilator,
To be able talk to anyone
To see a light
To being alive.




Comments

Popular posts from this blog

4 tahun perjuangan melawan kanker

Waiting for miracle

R I P Acute Lymphobastic Leukemia