Lanjutan Perjalanan Pertama

As you know, saya sudah memulai sekolah kuliner dan berkarir sekitar 5 tahun yang lalu.
Berhubung saya keturunan Tiong hoa sekaligus Indonesia asli, saya suka ber-dagang sejak kecil. Juga suka ngeliatin ema atau nenek memasak yang diturunkan juga pada mami saya..
Sejak kelas 4sd saya pernah jualan crepes abal-abal, cuma pake tepung, telor, gula, air, pewarna makanan, dan pisang. Resepnya pun saya karang sendiri sesuka saya..
Dibanrol dengan harga 500 perak aja, lumayan buat jajan karena yang mesennya bisa 5-6 orang perhari.
Tapi akhirnya berhenti karena dimarahin papa, maklum anak kecil udah make tepung tapi lupa buat ngegantiin modal.
Dari situ saya ga menyangka kalau saya akan berkecimpung di dunia kuliner, sampai akhirnya kelas 3 SMP saya kebingungan antara pilih sekolah reguler atau SMK.
Pada jaman itu rencana masuk SMK masih jadi bahan ejekan orang-orang, karena SMK tata boga belum setenar setelah ada Master Chef di Indonesia.
Tapi mami saya yang sudah ga kuat menghadapi saya yang sukanya hang out, makan dan ngabisin uang sekaligus selalu hampir ga naik kelas merujuk saya untuk masuk SMK saja.
Dengan ekspektasi sekolah di SMK pelajarannya akan lebih ringan, mengingat saya yang saat itu terkena lupus. (baca: Perjalanan pertama)
Kata orang-orang anak SMK itu ga jelas masa depannya, rugi ga bisa ganti jurusan kalau di tengah-tengah bosen.
Tapi saya memilih nekat pilih SMK swasta jurusan Tata boga.
Saya pilih jurusan ini karena saya sukanya makan, saya pikir pelajarannya akan cepet masuk kalau tentang makanan.
Waktu masuk pertama kali saya masih sangat ga terbiasa dengan lingkungan yang baru.
Sebelumnya saya bersekolah di sekolah Katolik yang isinya kebanyakan anak-anak konglomerat, dan mayoritas Tiong hoa.
Sementara di SMK semuanya campur, dari batak, sunda, bengkulu, pontianak, medan, dsb.
Tiong hoa semacam minoritas..
Begitu banyak terjadi perselisihan antar RAS, saya juga sangat menjaga jarak dengan pribumi.
Dengan kesan sombong dan sangat anti bersosialisasi sampai 1 tahun setengah saya menjalani sekolah tata boga.
Sampai akhirnya tibalah saatnya Job training atau Praktek Kerja Lapang.
Saya memilih untuk PKL ke Pulau Bali, saya pikir di sana akan sangat menyenangkan karena saya baru 1x ke sana sebelumnya.
Singkat cerita, saya bersama 13 orang lainnya pergi PKL bersama di Pulau Bali.
Di sana saya mulai belajar bersosialisasi dengan pribumi yang pada awalnya saya menjaga jarak.
Saya belajar kalau berkawan haruslah tidak memandang RAS, kami ber-14 begitu dekat satu sama lain.
Bercerita setiap hari, membagi pengalaman hidup masing-masing dari berbeda-beda latar belakang.
Saling ber-toleransi dengan perbedaan agama kami.
Ternyata itu bukanlah sebuah masalah, saya dapat belajar menghargai setiap orang. Dari RAS apapun, Agama apapun, Later belakang, atau kalangan.
Saat itu saya PKL di sebuah hotel besar dengan Ballroom terbesar se-Asia Tenggara.
Perbedaan bahasa lokal mempersulit komunikasi dan hotel yang begitu sibuk sempat membuat saya ingin pulang. Bayangkan saja waktu itu umur saya baru menginjak 16 tahun.
Dan pekerjaan disana sangat berat, memakai 90% kemampuan fisik.
Ngangkat peralatan kitchen yang satu stockpot (panci) bisa mencapai 6kg, atau mengangkat tepun seberat 18kg.
Tapi itu semua melatih saya untuk menjadi seorang profesional, yang walaupun wanita tapi kekuatannya setara dengan pria.
Memasuki bulan ke 3 saya sudah merasa betah menjalani PKL ini, bahkan lelah sudah tidak kerasa.
Sepulang kerja kita nongkrong bersama sambil makan atau bercerita, bernyanyi di pinggir pantai, atau berenang melepas penat.
Hari-hari begitu indah dan banyak pelajaran yang saya dapat di kitchen maupun dalam kehidupan sehari-hari.
Saya bekerja begitu tekun dan semangat karena passion dalam memasak baru muncul.
Saya selalu datang jam 7 pagi, padahal staff pun baru datang jam 8.
Membersihkan chiller dan kitchen serta melakukan preparation, dan selalu offer time sampai jam 6/7 malam.
Semakin larut malah semakin puas rasanya bisa mengerjakan banyak hal.
Sampai di bulan terakhir PKL diadakan Trainee gathering, dan tidak disangka saya menjadi Best trainee dari bagian Kitchen.
Waktunya kami pulang dengan sedih meninggalkan pulau dewata dan setiap cerita yang begitu indah di Bali.
Saya pulang dengan sertifikat dan pribadi yang berbeda.
Menjadi dapat bersosialisasi, ramah, supel, dan tidak lagi menjadi sombong.

Tahun 2012,
Saya mempunyai beberapa sahabat pada akhir SMK ini.
Kami hang out mencoba cafe-cafe baru hampir setiap hari.
Mencoba banyak kuliner sekaligus menambah wawasan, hari-hari menjadi sangat menyenangkan..
Sampai saat tes masuk perkuliahan bersama dengan 2 sahabat saya, dan mereka diterima dan saya tidak.
Saya merasa hancur, mimpi saya terasa terhenti, saya bertanya-tanya apa maksud Tuhan atas semua ini.
2 kali saya tes tapi tidak diterima juga.
Puluhan orang menasehati dan menyemangati tidak dapat membuat saya pulih, saya merasa gagal.
Tidak membanggakan untuk orang tua saya.
Saya hancur, saya ingin pergi dari Bandung.
Saya mulai berjualan online, mula-mula saya berjualan make up dan sangat laku keras.
Profitnya lebih dari 200%, kira-kira saya mengantongi untung 4-5 juta per-bulan.
Sebagian saya tabung dan sebagian untuk saya berlibur ke bali.
Singkat cerita saya bekerja di bali (baca: Perjalanan Pertama)
Saya menemukan sebuah diary tahun 2012-2013:

           Hidup disini bisa dikatakan sederhana. Tenang, normal, biasa saja, merakyat, HIDUP.
Entah apa yang membuat saya kecanduan berada disini, yang jelas banyak pelajaran hidup yang didapat.
Di Bandung semua penuh keterbatasan, disini bergaul ga mandang uang, jabatan, semua nampak manusia. Sama. Dari pegawai supermarket, warung kopi, executive chef, sampai manager, selama masih manusia kita bisa berteman. Minggu lalu saya nongkrong sama teman yang sempat bekerja bersama di resto asia dan dia bersama teman-temannya. Nampak 1 orang yang tidak asing bagi saya, ternyata dia chef Lana atau Kelana yang suka ada di Tv. Seorang ex-chef yang nongkrong bareng sama commis. This is Bali!
Hal lainnya, kalau di Bandung sarapan yang enak-enak rasanya bosen. Kenapa ya kalau disini makan seorang telor seperempat sama nasi dan sambel, duduk jongkok rame-rame ga pernah bosen dan selalu nikmat.
Asal selalu bersyukur semua jadi nikmat. Mungkin itu yang lagi Tuhan ajarin.
Yang aneh tiap kali saya ngepost betapa asiknya disini, ada aja orang yang nyela dan nasehatin ini itu.
Emang gue ga boleh bahagia? Emang keterpurukan harus selalu disesali? mbok ya temennya udah seneng dan bangkit dari kegagalan itu disemangatin. Kok malah di komen negativ toh...
Disini kerja ga kayak kerja, enjoy banget mau offer time 5 jam kek atau kerja seharian dari jam 9 pagi sampe jam 2 subuh! Rekor tuh taun baru, tapi enjoy banget orang-orangnya pun..
Saya pada akhirnya bersyukur atas apa yang terjadi..
Di umur yang baru menginjak ke 18 satu bulan yang lalu saya sudah bisa se-produktif ini.
Sudah bisa merantau, belajar banyak hal dari kegagalan, belajar bangkit, menekuni dunia kuliner, menafkahi diri sendiri, dan bisa beli Tv flat yang walaupun kecil hehehe...
Anak lulusan SMK berpenghasilan 2,5jt ditambah bisnis online walaupun sudah berkurang..
Cukuplah untuk hidup heheh...
Terima kasih Tuhan, mungkin kalau 3 tahun yang lalu saya ga sakit saya ga akan berkecimpung di dunia kuliner yang sangat menyenangkan ini, mungkin kalau saya ga gagal kemarin saya ga tau caranya berjuang dan merantau pure tanpa siapapun.


Comments

Popular posts from this blog

4 tahun perjuangan melawan kanker

Waiting for miracle

R I P Acute Lymphobastic Leukemia