CANCER vs FAITH
16 Oktober, 2018.
Sejak kemarin perasaanku sudah gusar, rasanya ingin
marah, sedih, rumit tak karuan. Aku baru tidur jam 5 pagi, banyak hal di
otak-ku yang mengatakan hal-hal negative tentang diriku sendiri.
Aku ngambek
sama mami, padahal mami gak salah apa-apa.
Semalaman aku menangis tanpa suara,
saat lampu kamar ruangan 562 sudah dimatikan.
Mami sudah tidur, seharian aku
cuekin, mungkin mami lelah.
Pagi hari perasaan menggebu-gebu ingin menangis masih
ingin meledak. Dokter visit jam 8 pagi, hanya berbicara akan cek bone marrow
minggu depan.
Tapi air mukanya terlihat semerawut, tidak sedamai biasanya.
Beliau pergi dari ruangan dengan cepat.
Lalu, sambil membuka sarapanku, mami duduk di depanku.
Hawa hari ini sungguh berbeda, tidak pernah aku rasakan sebelumnya.
Aku
meledak! “Mih, kenapa efek CAR T CELL udah gak ada lagi? Ini kan baru hari ke
3.”, tanyaku sambil air mata mengucur.
“Kenapa tadi gak tanya ke dokter? Sebentar mami tanya dulu.”, bergegas mami
keluar.
Aku menangis tak tertahan, membayangkan bagaimana jika
kali ini gagal lagi? Tak berapa lama, datang asisten dokter yang bernama
Amanda.
Sambil aku masih menangis. Beliau bertanya, “Sekarang carissa rasa apa?
Apa yang di risaukan?”.
“CAR T CELL nya tak ada efek lagi di badan saya, saya takut gak bisa sembuh”,
tangisku bertambah kencang.
“Sekarang dokter kan masih mau cek bone marrow minggu
depan. Tak apa carissa menangis, leukemia jenis ini memang sangat agresif, saya
tak akan menutupi. Tapi carissa harus tau, kami disini semua sayang carissa,
kami pasti coba yang terbaik.”, katanya mencoba menenangkan.
“Tapi nanti kalau tak bisa sembuh bagaimana?”, tanyaku
sambil menangis terbata-bata.
“Carissa, kalaupun tak bisa sembuh, tapi kamu sudah berjuang baik sekali. Sudah 3 tahun lebih kan? Kamu kuat sekali, lihat kamu sehat. Terlebih personality kamu baik sekali, kuat sekali. Kamu harus tau Tuhan sayang sama kamu. Kamu sudah berjuang dengan sangat baik.”, katanya.
Aku masih terus
terus terus menangis, membayangkan kematian kali ini seperti menunggu dibalik
pintu.
Mami masuk dan kami berdua terus menangis, aku tidak
tau apa yang dokter katakan pada mami di luar. Aku tau itu bukan kabar yang
baik.
Secara otomatis otakku membayangkan betapa sedihnya
meninggalkan orang-orang yang ku sayang. Harapan seakan luntur dalam sesaat,
masa depan seakan tertutup kabut hitam. Menghilang dari dunia, perlahan
terlupakan. Melepaskan genggaman yang padahal tidak ingin kulepas selamanya.
Setelah itu aku mengantar mami sarapan di kantin rumah
sakit, berjalan terhuyung, berpegangan tangan, dengan hati kami yang sama
hancurnya. Mungkin untuk mami, orang yang paling dekat denganku, hatinya jauh
lebih hancur.
Aku tak bisa menatap mami, selama duduk aku menunduk.
Karena
setiap aku menatapnya, air mataku selalu mengalir tanpa bisa di atur.
Banyak
pembicaraan yang terjadi saat itu, ada sebuah dialog yang membuatku butuh tissue
berlembar2.
Mami: Mami tau kita tetap harus ber-iman, tapi mami juga harus realistis. Kalau suatu saat ade meninggal, mami ga mau konyol kalang kabut. Kita harus punya persiapan.
Aku: Mih, ade
gak mau dibakar, mau dikubur aja.
Mami: Ade mau pake gaun apa? Putih ya, mau?
Aku: Iya putih aja, nanti dekornya yang bagus ya mih.
Ade gak mau kayak pemakaman, mau yang indah, pajang foto2 ade, pake bunga lily
putih pink. Ade suka bunga lily. Ade mau ini jadi “Celebration of life”.
Dengan dua tangan kami saling berpegangan, di sebuah
meja saling berhadapan. Dialog itu terjadi, dengan penuh air mata.
Mungkin jika di baca biasa saja, tapi untuk aku yang mengalaminya, hari itu adalah hari paling kelabu dalam hidupku.
Mungkin jika di baca biasa saja, tapi untuk aku yang mengalaminya, hari itu adalah hari paling kelabu dalam hidupku.
Kami kembali ke kamar, air mata rasanya tak akan
berhenti hari itu. Sudah tidak perduli lagi meski ada di tempat umum. Aku
berfikir, bagaimanakah aku harus menghadapi hari-hari ke depan ya Tuhan?
Satu hari itu kami biarkan hari berlalu dengan
tangisan dan hati yang hancur, memohon kepada Tuhan, berharap Dia memberikan
mujizatnya lagi.
Hari berlalu, kami mengabari beberapa teman dekat kami
tentang hal ini. Banyak yang memberikan kekuatan, bahwa pengharapan masih ada.
Perlahan kamipun mulai bangkit.
Kami mulai membangun kembali harapan.
Kami
mulai berdoa lebih keras, memohon kepada Tuhan.
Untukku, selama ada pilihan
untuk aku berjuang, aku akan berjuang. Seperti selama ini, semua medical
treatment aku jalani tanpa ragu.
Tapi yang menakutkan adalah ketika pilihan itu
sudah tidak ada.
Jadi untuk kalian yang sedang berjuang, terutama
cancer fighter, kalau ada pilihan pengobatan dari dokter, jalanilah. Ambil kesempatan
itu selagi ada. Keputusan itu ada di tangan kalian.
Saat ini sambil menunggu bone marrow, mami sedang
pulang ke Bandung, mencari sejumblah herbal alternative, meditasi , dll. Kalau
kalian punya info, boleh DM ig aku ya.
Keadaanku seminggu ini penuh dengan menggigil dan
demam tinggi, seharusnya ini efek CAR T CELL, tapi leukositku masih tetap naik.
Mujizat dan kasih karunia Tuhan Yesus adalah
satu-satunya yang bisa menyelamatkanku.
Lebih dari leukemia, lebih dari CAR T CELL, lebih dari pengobatan apapun, Tuhan
Yesus lebih besar dari semua itu.
He is JEHOVAH RAPHA, The LORD that HEAL.
He is JEHOVAH RAPHA, The LORD that HEAL.
Apa yang di depan mata terlihat mungkin bisa
meremukkan hati, menggoyahkan harapan. (Hasil tes darah, fonis dokter, dll)
Tapi disinilah iman yang bekerja, to see what unseen. Nothing is impossible . Aku akan melakukan yang terbaik yang aku bisa, sisanya Tuhanlah yang bekerja. Biar kehendak Tuhan yang terbaik yang terjadi.
Tapi disinilah iman yang bekerja, to see what unseen. Nothing is impossible . Aku akan melakukan yang terbaik yang aku bisa, sisanya Tuhanlah yang bekerja. Biar kehendak Tuhan yang terbaik yang terjadi.
Comments
Post a Comment