Daun yang menguning




17 Maret 2017, Jakarta
Hari ini aku pulang ke Bandung, kemarin habis syuting kesaksian buat acara Tv SOS di Indovision.
Aku mengamati setiap jengkal jalanan Jakarta dari dalam mobil, seperti anak kecil yang terpesona melihat deretan toko permen.
Ada gedung-gedung perkantoran, pertokoan kumuh, pasar burung, sekelompok anak SMA yang sedang melambaikan tangan pada temannya yang sudah lebih dulu naik angkot. Senyumku merekah, aku merasa pulang.
Meskipun sudah hampir 6 bulan aku pulang ke Indonesia, Tanah airku Indonesia dengan segala kemakmuran serta ke—se-merautannya yang sudah aku impikan setiap hari ketika aku di Malaysia.

Lalu aku melihat pohon besar di depan stasiun jatinegara, daun-daun-nya berguguran karena sebagian telah menguning.
Sama seperti manusia yang berguguran meninggalkan dunia, ketika sudah gugur semua menjadi sama-sama daun kering yang perlahan akan dilupakan.
Yang membedakan adalah daun-daun terlihat kapan dia akan gugur ketika dia sudah kuning, tetapi manusia tidak tahu kapan dia akan gugur.
Batang pohon bak bumi raya, daun yang gugur akan digantikan oleh daun kehijauan yang baru tumbuh. Dengan atau tanpa daun-daun yang berguguran, pohon dan semua daun yang melekat pada pohon itu akan tetap hidup seperti biasa dan baik-baik saja. Bukankah sama seperti manusia dan bumi raya?
Ketika orang-orang atau suatu hari nanti aku meninggalkan dunia, bukankah dunia ini akan baik-baik saja?

Aku tidak tahu kapan aku akan menguning, kamu juga tidak.
Aku ingin sebelum menguning nanti, aku bisa membuat banyak memori baik ketika daun-daun hijau mendengar namaku.
Selain pohon-pohon yang berguguran, aku juga melihat pohon yang sedang berbunga cantik. Setiap insan pasti pernah ada di posisi seindah bunga yang sedang mekar. Posisi indah bukan hanya didefinisikan dengan kekayaan, kepopuleran, kecantikan atau fisik yang sempurna.
Tapi dari kebahagiaan dalam keadaan apapun itu.

Ada yang yang cacat tapi tetap berjuang dan bahagia, ada yang kekurangan tapi bahagia memiliki keluarga yang saling menyayangi, ada yang kaya tapi bunuh diri karena beban pekerjaan.
Maka dari itu, definisi bahagia setiap orang pasti berbeda.
Dulu bahagiaku adalah menggenggam pencapaianku.
Bisa punya uang sendiri, bisa beliin orang tua hadiah, liburan kesana kesini, kuliah,bekerja dan berkarir, punya kehidupan layaknya orang normal.
Tapi suatu hari aku dipaksa keluar dari apa yang kuanggap kebahagiaanku. Jungkir balik dalam hal kesehatan, merasa merepotkan orang tua dan banyak orang, meninggalkan kuliah, jauh dari kata liburan, tidak punya apa yang biasa aku sebut kehidupan normal.
Sampai akhirnya definisi kebahagiaanku berubah.

Hari ini aku sadar kebahagiaanku adalah kesempatan hidup yang Tuhan berikan.
Bukan karena hari ini aku sehat, saat aku sakit melewati proses kemoterapi dan transplantasi pun aku tetap bahagia.
Bukan karena akhirnya aku bisa makan roti yang baru matang dari Delicious bakery, selama 3 tahun aku berjuang sedikit demi sedikit melepaskan budaya “jajan” yang sudah mendarah dagingpun aku tetap bahagia.
Melewati semua perjuangan ini, Tuhan mengajarkanku untuk bisa melepaskan apapun yang ada di genggamanku bila itu memang kehendakNya, termasuk yang dulu ku definisikan sebagai kebahagiaan.

Kini aku bahagia tanpa harus punya kehidupan yang dulu aku anggap ‘normal’.
Kini aku lebih bahagia ketika aku bisa berguna buat orang lain, memberi apa yang aku punya.
Setelah kupikir-pikir, kata berjuang bukanlah milikku.
Apa yang aku lakukan hanyalah taat mengikuti proses medis yang ada.
Berjuang rasanya lebih tepat dipredikatkan untuk orang-orang yang membantuku melewati pendakian penuh bebatuan ini.
Terutama papi, mami dan kedua kakak-ku, juga keluarga besar dan teman-teman.
Keluarga intiku yang menyaksikan apa yang tidak mereka alami, membantuku sekuat tenaga mencukupi kebutuhanku.

Tugasku hanya menikmati dan menahan rasa sakit sekuat mungkin.
Dan yang terpenting adalah mempertahankan imanku pada Tuhan.
Kesembuhan adalah hadiah yang Tuhan Yesus berikan untuk aku, hadiah yang sebenarnya tidak layak aku terima sebagai manusia yang berdosa.
Tapi kasihNya yang begitu besar menghadiahkanku perpanjangan waktu hidup.
Kini akan kuisi kehidupanku dengan kebahagiaan-kebahagiaan yang sederhana.
Sesungguhnya tidak ada yang menakutkan dari menguning dan gugur, yang menakutkan adalah masa kehijauan yang belum maksimal aku gunakan untuk memberkati orang lain.

Ada sebuah quotes bagus dari film yang aku tonton berjudul ‘Ghost Town’, yang sebenarnya adalah quotes dari Albert Einstein: “Only a life lived for others is worth living.”



Comments

Popular posts from this blog

4 tahun perjuangan melawan kanker

Waiting for miracle

R I P Acute Lymphobastic Leukemia